Sabtu, 25 September 2010

Langit Malam

Pagi ini aku terbangun, kulangkahkan kaki ini dengan mata yang berat menuju kamar mandi. Lamunanku terus mengalir seperti air kran yang mengalir menuju bak mandi, aku masih kesepian didalam lamunanku sendiri dan terus saja sendiri. Andaikan masa itu tidak pernah terjadi, masa dimana berbagai rumus kimia tidak mampu memecahkan masalah hatiku.
Aku terdiam sejenak melihat air mengalir memenuhi tiap ujung-ujung bak mandi, mengalir dari atas sampai badan bak mandi dan akhirnya menuju selokan, semuanya mengalir saja seperti perasaanku yang mengalir dalam kehampaan hati.
Selesai mandi kuniatkan hati ini untuk memakan sesuap dua suap nasi. Tapi rasanya getir dan hilanglah semua daya. Pikiranku terserap menuju pada hal yang mampu menghentikan denyut nadi dan menghilangkan intuisme panca indra didalam diriku. Dia yang mampu mematahkan semangat yang dulu mengalir disetiap hembusan nafasku. Aku terdiam dan terngiang pada satu titik yang sangat klasik yaitu titik patah hati.
Mungkin sebagian orang menganggap diriku terlalu cengeng dan melankolis, tapi inilah diriku. Diriku yang sebenarnya. Diri anak melayu pemalang yang mempunyai rasa dan perasaan.
Dengan berat hati aku memasuki ruang kelasku. Ruang kelas yang dulu menyimpan sejuta kenangan indahku dengannya. Ooh Tuhaan…. ini menyakitkan.
“Pagi satrio” seseorang bergumam dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku tersentak.
“Pagi juga” jawabku dengan senyum dipaksakan.
“Kok nglamun aja, ntar kesurupan Lho.” Ujar gadis yang berpostur semampai dengan rambut yang dikucir dibelakang.
“Biarin aja Lha….” Jawabku singkat kepada gadis itu, gadis itu bernama wulan. Wulan teman sekelasku, sudah dua tahun aku dan wulan satu kelas, makanya aku dan dia sudah mengenal dengan baik.


***

Detik berganti menit, dan menit berganti jam. Akhirnya pelajaran hari ini usai juga. Kulangkahkan kaki keluar dari kelasku menuju tempat parkir, matahari menyengat pori-pori disetiap jengkal kulitku.
“Aduuh, panas benar hari ini.” Gumamku sendiri, aku masih melamun saat berjalan menuju parkiran. Aku bertemu pandang dengan gadis yang tadi pagi menegurku, dan dia menyerahkan sebuah plastik berisi kertas foto copy.an untukku.
“Nie, ntar dikerjain ya..”
Gadis itu tertawa. Aku baru menyadari bahwa dia sangat cantik, kulitnya putih seperti pualam, rambutnya yang hitam jatuh sedikit melewati bahu, giginya yang putih berbaris rapi. Sorot matanya begitu lembut dan teduh, tapi juga kelihatan tegas.
“ini tugas apa ?” tanyaku sambil mengambil kertas foto copy.an didalam plastik tadi.
“tugas biologi !!” jawabnya singkat sambil berlalu pergi meninggalkanku.


***

Beberapa jam setelah aku sampai dirumah, aku mulai melepas baju, sepatu dan membuang segala kepenatan didalam pikiranku.
Aku keluar dari rumah dan menuju kesebuah pohon mangga disamping rumahku. Aku duduk didekat kursi samping pohon mangga, pohon mangga ini tingginya hampir dua meter dengan dipenuhi rimbunan daun-daun yang mengundang semilir angin, menyegarkan siapa saja orang yang berada dibawahnya.
Semenjak perpisahanku dengan Reva, dan sakit hatiku yang mendalam, aku telah kehilangan senyum dan kebahagiaanku, semuanya telah hilang entah kemana, mungkin juga ditelan kengerian hutan amazon atau diletupkan semburan magma gunung merapi.
Hari-hariku aku lewati dengan kesangsian, kesangsian akan benarkah ada rasa kesetiaan, sungguh menyakitkan rasanya ditinggalkan dan aku bertekad dengan berjanji diatas pusaran tanah air Indonesia bahwa aku tak ingin kehilangan seseorang yang kusayangi lagi.
Hidupku sekarang sedikit berwarna karena semenjak acara tegur sapaku dengan gadis berkuncir tempo yang lalu itu, sekarang malah membuat cerita persahabatan aku dan dia makin akrab. Terima kasih ya Tuhan, Engkau telah mengirim sahabat yang baik untukku.
Tiap hari tanpa terasa aku makin dekat dengan wulan, entah apa yang membuat aku begitu kerasan dengan dia, semenjak dulu aku sangat susah sekali untuk dekat dengan orang apalagi percaya dengan orang, tapi setelah dekat dan akrab dengan wulan aku merasakan perbedaan.

***

Seperti biasa pelajaran hari ini aku lalui dengan cepat, entah apa yang membuat aku begitu senang hari ini, mungkinkah karena hari ini aku ada janji dengan wulan.
“Hai, udah siap.” Tanya wulan.
“Eh iya, udah siap ni.” Jawabku sambil mengemas-ngemasi buku dan memasukannya kedalam tas.

***

Sepanjang perjalanan wulan hanya diam. Sepi… bahkan sangat sepi, tak seperti biasanya wulan diam begini, akupun enggan memulai pembicaraan, akhirnya kupaksakan.
“Kug, diam aja sih.”
“Ehm…” gumam wulan dingin.

Lama nian kami terdiam, tangan wulan sangat dingin ketika kegandeng, ini sudah kesekian kalinya aku heran… ada apa dengan wulan, kenapa dia berubah.
Setelah sampai ditujuan aku menghela napas. “huu…”
“Yo..” suara wulan terdengar parau seakan memecah kesunyian.
“Ada apa Lan ?” tanyaku penasaran.
“Aku pindah yo, ayahku dipindahkan tugas, seminggu lagi aku akan menuju batam.”ucap wulan dengan nada lemah.
“kenapa.. kenapa harus pindah bentar lagi kan kita kelas tiga, selesein dulu sekolahnya baru pindah.” Ujarku menasihati.
“aku gak bisa yo, mungkin aku akan nglanjutin sekolah dibatam, katanya disana juga anaknya baik-baik.”
“sampai kapan kamu pergi, kapan kamu akan kembali kesini.” Tanyaku dengan perasaan galau.
“aku gak tau yo, dua tahun lima tahun atau mungkin selamanya.”
“kapan kamu berangkat.”tanyaku sambil memegang bahu wulan.
“satu minggu lagi.” Suara wulan teduh, sekilas aku melihat cairan disudut mata wulan, entah mengapa aku seperti melihat seorang gadis kecilku yang lucu, gadis yang selalu ceria tapi sekarang aku melihat dia sangat muram. Sedihkah dia berpisah denganku atau mungkin ini hanya perasaanku saja.

***

Semenjak pertemuanku dengan wulan tadi siang dan sekarang setelah sampai dirumah kepalaku terasa pening, ini seperti penyakit pneumonia yang menyerangku, sepertinya aku telah dibekukan dengan seluet-seluet lentera dinginnya kutub. Bibirku ngilu, mataku sayu. Ooh tidak, betapa pedihnya merasakan kehilangan, mengapa banyak sekali yang pergi dari hidupku, aku bagaikan menelan ribuan pil pahit berslogan APC, entah pil merk apa lagi itu.
Enam hari telah berlalu, besok adalah hari kepergian wulan.
Tepat dihari keberangkatan wulan dan keluarganya, aku mendekati dia lalu mengucapkan salam perpisahan. Sungguh ironis perpisahan ini.
“wulan ini kado dariku, ku sengaja memberikan kado boneka panda ini untukmu, agar kau selalu mengingatku.”
“makasih ya, yo.” Ucap wulan lesu dengan senyum dipaksakan.”

***

Sebulan semenjak acara perpisahan itu, dua hari dua malam aku enggan untuk makan, aku juga gak tahu kenapa, mungkin inilah pahitnya getaran kehilangan. Pantas aja sering kali aku melihat pemuda dikampungku pada senewen tiap kali kehilangan maupun ditinggal orang yang dikasihinya, mungkin aku termasuk golongan ketiga yang masih lumayan beruntung, karena biasanya tingkat intens pemuda dikampungku sangat mengkhawatirkan, tiap kali mereka ditinggal pacar ada yang nekat memakan 15 cabe keriting merah segar dengan sedikit garam, katanya sih itu obat paling mujarab menyembuhkan kengiluan hati. Aah, sungguh gila dunia ini.


Kubaringkan tubuhku diatas kasur, kasur yang menjadi tumpuan untuk menghilangkan segala kepenatan didalam dadaku, aku beranjak dan segera kulantunkan doa tidur, doa yang diajarkan ustd Nur markum kepadaku ketika aku masih ingusan dulu, masih kuingat nasehat-nasehat dan petuah-petuahnya, mungkin karena menurutku dia sosok yang bijak sehingga patut menjadi panutan hingga setiap kata dan ucapannya mengandung arti kebenaran. Seperti tiap kali aku dan wulan bersamaan, tak pernah aku mendengar kata-kata bohong dari mulutnya.
Liburan kali ini aku lewatkan dengan bermalas-malasan saja dirumah, entah nonton tv, makan, baca buku. Eeh, jangan salah bukan buku-buku pelajaran yang ku baca tapi buku novel yang sengaja aku pinjam tempo lalu ketika masih berangkat sekolah.
“Tok-tok..tok..”suara pintu membahana ketika aku mentaut-taut novel cibican tenggelam dilumpur.
Dengan malas aku melangkah menuju pintu.
“Assalamualikum.” Ya Tuhan, nafasku tercekat ketika aku mendengar suara itu, suara yang tak asing bagiku, suara yang paling aku rindukan, tapi apakah mungkin dia datang kembali hanya untuk berjumpa lagi denganku. Aah, berharapnya aku.
Ku buka pintu yang kusen gagangnya hampir lapuk itu dengan hati-hati, ku tatap siapakah gerangan orang yang bertamu dan bersua itu.
Astaga, mungkin saat-saat seperti ini adalah saat yang tepat ketika pepatah lama melayu berkata “kejatuhan durian runtuh”. Ya benar sekali, aku galau tak percaya pada keadaan ini. Kutatap matanya lekat-lekat masih teduh rupanya. Senyum mengembang dari bibirnya yang mungil dan merekah itu.
“Hai yo, gimana kabarnya.” Tegur wulan menyadarkanku dari lamunan.
“baik.” Jawabku gerogi laksana demam panggung yang dialami oleh para penyanyi menghadapi ribuan penonton yang menunggu suara emas keluar dari mulut.
“Kug heran gitu, kaya ngliat hantu aja.” Celetuknya renyah dengan nada naik turun seperti penyanyi paduan suara dengan ritme yang sangat kontemporer.
“wulan, sejak kapan pulang ?.” Tanyaku masih keheranan.
“baru sejam tadi, dan ketika itu langsung saja aku mencarimu untuk menemuimu.”
Gludak, jantungku mendadak berdetak kencang, darahku terpompa menuju keseluruh badan, merona rupanya mukaku sampai tak karuan mendengar pernyataannya tadi.
“Aah, bercanda aja kau ini, masa baru tiba langsung nyariin aku.” Sangkalku malu.
“yo, keluar yuk, aku kangen banget ni sama pemalang.” ajak gadis bermata teduh itu.







***

Ketika aku rapuh, aku butuh seseorang untuk menemaniku, aku ingin ada yang menemaniku disaat titik kesadaranku berada dikisaran minimum, disaat kekalutan hati dan disaat butiran mutiara kristal tak dapat lagi kau bendung dari ujung mataku.
Aku memang bodoh, bahkan terlalu bodoh untuk seukuran homo sapiens, aku hidup hanya untuk mempermalukan ribuan dinasti dan ribuan keturunan species didunia ini, disaat semua mimpi dan harapanku hilang aku membutuhkan teman, teman yang akan selalu menemaniku dan ada untukku disat kegalauan hati menyerangku.
Tapi semenjak wulan datang lagi, semuanya berubah. Mungkin benar dia adalah pelengkap dari sendi tulang rusukku dan dia adalah juliette yang telah dikirimkan oleh Tuhan untukku. Betapa bahagianya aku.
“yo, pulang yuk.” Ajak wulan lekas.
“ayo.” Jawabku dengan penuh kegirangan walaupun seluruh sendiku hampir lemas karena seharian berjlan-jalan dengan temanku yang satu ini.

Sesampainya dirumah.
“wulan, sampai kapan kamu akan terus disini.” Tanyaku.
“selamanya, ku ingin selamanya selalu disini.” Jawab wulan singkat.

Ooh, begitu indah kata-kata itu, bahkan mengalahkan rima-rima dan ribuan sajak gurindam yang kukenal selama ini, karena kata-kata itulah yang ingin aku dengar setiap kali aku bertanya sampai kapan.
‘Amboi, benarkah kau ucapkan itu, terus bagaimana dengan sekolah dan orang tuamu disana.” Tanyaku bingung.
“aku akan kembali sekolah disini dan mungkin inde kost disini juga.”
Segenap jiwa ragaku bersemangat, entah apa yang merasukiku hingga hatiku berkecamuk dengan euphoria yang temanku berikan ini.
“aku senang akan hal itu wulan.”
“aku juga yo.” Senyum mengembang dari mulutku yang sekian bulan telah lupa untuk tersenyum.

***

Akhirnya keceriaan yang dulu hilang kini telah datang lagi bagaikan letupan kembang api yang begitu menggembirakan.
Terimakasih sahabatku, kaulah yang selama ini aku cari, aku ingin kau melengkapi hidupku, entah sampai kapan, aku ingin kau selalu menjadi sahabat yang selalu ada disaat pilu dan kegundahan datang menyertaiku.



diketik dan diaudit oleh satrio wijoyo
Pemalang, 25 september 2010

Kamis, 26 Agustus 2010

entah kemana

GANTINE KOE

Enyong ngadeg nang pinggir dalan nang ngarepe toko-tokone wong cine sing nang larikan dalan jendral sudirman, nangkana enyong ketemu karo bocah wadon, nyong kesengsem.

Kanggo ngemotake : bocah wadon kue arane diah, diah kancane nyong nang SD mbiyen , nyong kading mbiyen pancen wis seneng karo diah.

Sore nang pemalang. Ujug-ujug nyong kemotan terus karo diah, diah sing mbiyen bocahe menengan men saiki dadi royal alias pecicilan. Enyong beh heran men, diah kue ngingetna nyong maring bintang film sing nyong senengi : marshanda.

“diah, koe kading endi ?” takonane nyong.

Diahe mesem.

“aku kading alun-alun !” jare diah.

Diah pancen mbengi kue katon ayu nemen, diah nganggo celana pensil sing ngisorane cilik men. Celana pensil miki katon serasi karo klambine sing warna biru keenom-enoman. Ngisorane celana mau tertutup karo selop model saiki selempangan-kulit ireng karo hiasan manik-manik. Kuku-kuku tangane dipitex abang. Bocah kie marani nyong karo nuntun pitte.

“primen kabare ?” takon ku.

Diah bingung pan njawab apa.

Diah mesem maning. Diah munikna krintingan pitte sing wis katon nieng nang pinggir-pinggirane. Kuku-kukune sing dipitex abang mau murub kena sinar lampu kading lampu Philips 25watt sing kepasang nang ngarep toko basa, lampu kue katon padang men.

“kabare buruk yo !” jare diah.

“sekejap nyong ndredeg,” langsung tak takoni maning, “bisene buruk ?”.

Wis kading mbiyen diah tekenal akeh masalah, leh mesti masalahe tentang pacare aning ora ye tentang adine sing nakale ora karuan, mbiyen beh pas nyong isih njagong nang bangku sing perek karo comberan, pernah nyong didorong anjug njeblung maring got, pokoke nakale ora karuan lha.

“Koe ana masalah apa yah ?” takonne nyong sing wis pan nebak-nebak jawabanne.

“masalah cowo yo !” jelas diah.
Batinku, ya bener mesti aning ora masalah cowo ye masalah tentang adine.


“koe diputus karo pacare ye ?” takonne aku.

“iye yo !” jelas diah.

“aku ngerti, koe atine mesti lara men kan, aku ye juga pernah ngrasakna.” Ujuk-ujuk nyong kelingan masa mbiyen nyong karo diah, sing mbiyen pernah mutusna nyong tanpa sebab.

Diah, diah kue mbiyen pernah jadian karo aku, tapi ye mbeke rong wulen diah langsung mutusna aku, jarene cuman pingin kancanan bae karo aku. Pertama-tama aku sakt men atine, tapi mbuhlah saiki wis ora tak pikiri maning, wis dadi masa lalune aku.

“ndi pacare koe ?” takonne aku maring diah pas ndeleng diah nangis. Diah nangis karo nyekeli pit phoenix sing ket mau dituntun, pit kie mbiyen ye pernah dinggo pacaran nyong karo diah, malahan pit kie bise didomong saksi cintane aku karo diah.

“atine aku lara men yo !” jelas diah.

“sabar yah.” Aku ngulangi maning “sabar yah.”

“fani memang ganteng, tapi kelakuane kue kaya iblis men.”

“iblis keprimen yah ?”

Aku kemotan pas awal mbiyen diah ngomong wis jadian maning karo fani. Fani, aku, karo diah pancen SDne bareng. Ket mbiyen aku pancen seneng karo diah tapi sayange diah cuman seneng karo fani. Ye wis ben lah pancen perasaan cinta kue ora bise dipaksakna.

“pokoke aku saiki sengit men yo karo fani !” jelas diah.
“wis lah yo, ora usah mbahas kue maning.” Lanjut diah.

“terserah koe lha.” Lanjut aku “ tak terbalek bae nju, gelem pora ?”
Akhire diah tak diter balek anjuk omahe.

Umahe diah nang mulyoharjo tepate payaman pereklah karo umahe aku, umahe aku kan nang cokrah, ye tapi kue mbiyen saiki kah aku wis pindah nang bandelan.

Diah tak boncengna karo nangis nang punggunge aku, pas wis teka nang umahe diah, kire-kire ye pas kue jam setengah walunan. Diah ngucapna makasih karo aku.
Aku sing wis ora penak karo wong tuane diah, akhire aku pamit balek ndikit.

Aku baleke mlaku kading payaman maring cokrah, nang dalan aku kemotan terus karo diah, aku mikir apa mungkin aku jatuh cinta maning karo diah.

Lanjut, pas kading bengi mau, diah wis langka kabare maning. Aku bingung, akhire tak putusna aku sms diah, diah balezi smse aku kadang diah baleze aning wis telung menit kadang ye cepet men baleze. Nang kono kue sing paling nyengitna, masa aku kudu ngenteni balesane diah terus.


***

Sebungkus rindu ngrasuk nang atine aku. Rindu sing nyakitna atine aku terus, sebungkus rindu sing ora pernah ketemu tepian rindune, kalau toh rindune aku menepi, palingan hanya menepi maring kanca-kancane aku. Kanca sing selalu siap sedia nrima curhatte aku, kanca sing apikan men karo aku, namane Latifah.

Seumur-umur aku mbeke pernah curhat karo bocah wadon ye kue karo Latifah, awale aku kenal latifah beh ora sengaja, awale kue aku entuk nomer kading kancane aku, kancane aku ora ngomong kue nomere sapa, akhire aku penasaran.
Ye wis lha, akhire aku smsan terus karo bocah kue, Eeh.. selot suwe-selot suwe aku nyambung, ye wis akhire aku dadi perek menlah karo latifah.

Saiki selain aku sayang karo diah aku juga sayang men karo latifah, tapi tetep aku cuman nganggap latifah sebagai kancane aku, walaupun aku sayang men karo latifah.

Bocah loro kue, latifah karo diah pan selamane tak sayangi, aku ora peduli maning, walaupun aku ora bise miliki diah, aku toh tetep isih ndue latifah sing siap 24 jam kanggo dadi kancane aku.

Dunia kie memang aneh, kenyataan sing sebenere nyakitna gara-gara ora bise milik sesuatu sing kita sayangi, Eeh.. tapi malah tetep bise seneng, seneng karena ana penggantine wong sing kita sayangi yaiku wong sing slalu siap nrima critane kita, curhate kita, karo tangisane kita…..

Kuelah gunane sahabat sejati…
Sahabat sing ana pas ora lagi seneng tok, tapi ye juge pas lagi sedih…
Sahabat sejati apan ana nang pereke dewek kanggo nguatna atine dewek..
Kapanpun karo dimana pun…


Pemalang, November 2009

joyo

Template by : kendhin x-template.blogspot.com